JAKARTA, anewsidmedia.com – Uji Undang Undang (UU) Terorisme kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Sidang ketiga dalam Perkara Nomor 103/PUU-XXI/2023 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK, pada Selasa (5/12/2023).
Sidang lanjutan yang digelar MK membahas uji materril konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme).
Terdapat tiga pemohon yakni, Peria Ronald Pidu (Pemohon I), Mulyadi Taufik Hidayat (Pemohon II), dan Febri Bagus Kuncoro (Pemohon III) merupakan korban tindak pidana terorisme.
Saat siding pemeriksaan mereka berpendapat bahwa pasal tersebut telah merenggut hak korban atas pemulihan.
Peristiwa yang para pemohon alami terjadi sebelum diundangkannya UU Terorisme yang belum mendapatkan kompensasi dan bantuan berhak mendapatkannya dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK, dikutip dari mkri.id.
Hal ini disertai dengan lampiran surat penetapan korban Tindak Pidana Terorisme yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Adanya batas pengujian paling lama 3 tahu terhitung pada 22 juni 2018 saat UU ini mulai berlaku dirasa melewati batas waktu dan korban belum mengajuka kompensasi pada LPSK, membuat mereka tidak mendapatkan hak yang diatur di UU tersebut.
Akibat norma ini, berimplikasi pada waktu yang tersedia bagi LPSK dan BNPT untuk menyampaikan informasi kepada para korban tindak pidana terorisme di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat mengajukan bantuan dan kompensasi kepada negara.
Para Pemohon melaporkan berdasarkan data LPSK, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 215 orang korban tindak pidana terorisme dengan jumlah kompensasi sebesar Rp39.205.000.000,- pada 2020. Sementara pada 2021 dan 2022, LPSK telah menyerahkan kepada 357 orang korban dengan jumlah kompensasi sebesar Rp59.720.000.000,-.
Malalui laporan LPSK tersebut, terbukti belum semua korban tindak pidana terorisme mendapatkan haknya.
Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi korban, karena waktu yang sangat terbatas bagi korban untuk mengajukan kepada negara—dalam hal ini LPSK.
Sehingga, banyak korban yang masih belum mendapatkan hak-haknya dalam rangka pemulihannya.
Batas pengajuan permohonan bantuan dan/atau kompensasi bagi korban dinilai bertolak belakang dengan tujuan hadirnya perlindungan hukum bagi korban.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.