SEMARANG, anewsidmedia.com – Beginilah wajah pimpinan cabang saat ini yang tidak terlalu mementingkan kepentingan dan kebutuhan kader yang berada di komisariat, hanya momentum tertuntu mereka turun ke komisariat hanya karena adanya agenda politik/kontestasi, hal ini jelas bahwa cabang hanya memanfaatkan kader kader dikomisariat hanya untuk Garapan politik tanpa mementingkan keberlangsungan komisariat.
Sudah seharusnya di ingat dan di pahami oleh cabang bentuk transfusi ilmu dan informasi adalah hal terpenting dalam keberlangsungan perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terkhusus sebagai bentuk Gerakan nyata yang sudah menjadi janji dan tawaran cabang terhadap kader di komisariat.
1. Cabang melakukan pencerdasan ke komisariat
Pada kenyataannya, mereka bukanlah pimpinan yang cerdas dan memiliki empati terhadap kader kader yang ada di komisariat, dan bahkan mereka tidak terlalu memahami dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan di komisariat selama beberapa periode kebelakang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa cabang tidak memiliki orientasi yang jelas dan kongkrit terkait keberlangsungan kader yang berada di komisariat. Banayak sekali janji janji yang mereka tawarkan, tetapi ketika kader kader menagih mereka terkesan tutup telinga dan mata atas permintaan yang kader minta terkait janji janji mereka.
2. Cabang transparan dalam arus koordinasi dan informasi
Dinamika yang terbentuk pada kenyataannya cabang terkesan apatis terhadap transparansi dan kredibilitas dalam penentuan informasi terhadap komisariat. Hal ini tidak mencerminkan seorang pemimpin yang harus memiliki sifat transparan dan tanggung jawab terhadap informasi yang dibutuhkan, seperti peta Musyawarah Daerah (Musyda) Dewan Perwakila Daerah (DPD) IMM Jawa Tengah XXI, dalam hal ini yang seharusnya dilakukan cabang membreakdown informasi terkait peta politik persyarikatan yang mana dengan melibatkan fungsi komisariat dalam berlangsunya musyda.
Transparansi dan kredibilitas menjadi penting karena lagi lagi bentuk pencerdasan perlu kedua indicator tersebut, namun lagi lagi kenyataan berkata lain, bahkan yang menjadi kekecewaan komisariat terhadap sikap yang di munculkan cabang yaitu adanya kesepakatan sepihak terkait pencalonan DPD IMM Jateng.
Rencana jahat yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan tanpa mementingkan asas mufakat, yang mana hal ini sudah menjadi ciri dan identitas kader imm dalam menentukan hasil musyawarah. Kemudian ironinya cabang tutup telinga dan mata ketika komisariat meminta transparansi dan kredibilatas sebagai bahan analisis dan pembelajaran untuk komisariat dalam berlangsungnya kontentasi di persyarikatan.
3. Cabang sebagai patron “PERKADERAN” persyarikatan
Perkaderan adalah jantung pergerakan dalam berlangsungnya persyarikatan, dalam hal ini dimaksudkan bahwa dalam ranah garapan apapun perkaderan adalah kunci utama dalam aktualisasi dari garapan yang dilakukan oleh cabang, salah satu contohnya kontestasi di persyarikatan (Musyda DPD IMM Jateng XXI). Mengapa hal ini menjadi penting karena realita saat ini perkaderan di IMM Kota Surakarta sedang mengalami penurunan kualitas dan kesadaran, mungkin sudah masuk dalam fase Dekadensi (kemunduran). Lagi lagi membicarakan perkaderan juga menjadi indikator bagaimana perpolitikan ikatan dapat berjalan dengan baik.
Apa yang menjadikan perkaderan IMM Surakarta saat ini mengalami penurunan atau bahkan kemunduran karena dalam berlangsungnya perkaderan banyak oknum oknum yang meminkan perkaderan hanya untuk kepentingan prinadi, lebih lanjut terdapat bukti bahwa proses perkaderan ini cenderung menguntungkan kader-kader tertentu yang tampaknya diunggulkan oleh kelompok tertentu. Hal ini juga menjadi kritik bahwa dapat diartikan hal ini bermula dari tataran yang lebih diatas, contohnya DPD IMM Jateng, sungguh ironi dan menjijikkan, kalua kata orang jawa cukup “ngelus dodo”.
4. Cabang mengayomi dan merangkul seluruh komisariat
Politik adu domba menjadi strategi yang kerap dipakai untuk memecah belah kelompok-kelompok di dalam organisasi. Dengan tujuan mempertahankan kekuasaan, beberapa pihak memilih untuk menanamkan benih konflik antarkelompok atau antarpersonal dalam organisasi. Taktik ini diperparah dengan praktik politik transaksional yang berbasis pada kepentingan sempit. Ketika posisi atau keputusan didasarkan pada imbalan materi atau keuntungan pribadi, organisasi bergerak ke arah yang jauh dari prinsip kolektivitas dan keadilan. Keduanya menciptakan suasana yang tidak kondusif, menyebabkan konflik yang tak perlu, dan menghilangkan solidaritas di antara anggota organisasi.
IMM pada dasarnya dibentuk sebagai wadah pembinaan dan perjuangan yang mewakili suara, aspirasi, dan kepentingan kader persyarikatan. Namun, IMM kerap menghadapi tantangan serius, di mana marwah perjuangan mereka perlahan hilang, terkikis oleh praktik politik adu domba dan politik transaksional yang merusak. Alih-alih menjadi tempat mengasah intelektual dan karakter, organisasi ini justru berubah menjadi arena konflik internal yang tidak sehat, jauh dari semangat solidaritas dan idealisme kader persyarikatan. Politik adu domba menjadi salah satu taktik yang banyak dilakukan oleh oknum-oknum yang berkepentingan, baik di dalam maupun di luar organisasi. Konflik antarindividu atau antarfraksi sengaja diciptakan demi meraih keuntungan pribadi atau kelompok.
Adu domba ini sering kali disulut oleh pihak-pihak yang ingin menguasai kepemimpinan atau mempertahankan jabatan. Akibatnya, organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi ruang inklusif justru terpecah-belah, membentuk kubu-kubu yang saling bermusuhan. Kecenderungan ini hanya menciptakan atmosfer permusuhan dan hilangnya rasa percaya antaranggota, menjadikan IMM tidak lagi sebagai rumah bagi kader, tetapi sebagai tempat konflik yang merugikan semua pihak.
5. Cabang menjadi contoh praktik “HIGH POLITIK” Muhammadiyah
Di sisi lain, praktik politik transaksional juga menjadi penyakit yang semakin melumpuhkan integritas organisasi mahasiswa. Fenomena politik transaksional dalam IMM ini nyata terlihat ketika pemilihan atau keputusan strategis dibuat bukan berdasarkan kompetensi atau kepercayaan, melainkan atas dasar kepentingan jangka pendek dan kepentingan pribadi. Dukungan yang diberikan sering kali disertai dengan imbalan atau janji-janji tertentu. Dengan kata lain, politik transaksional ini mengubah organisasi kader menjadi alat negosiasi yang menguntungkan pihak tertentu saja, mengorbankan nilai kolektif serta tujuan besar yang seharusnya diperjuangkan.
Keberadaan politik transaksional ini menyebabkan marwah organisasi mahasiswa semakin terdegradasi.
Nilai-nilai dasar seperti solidaritas, kesetaraan, dan perjuangan untuk kepentingan bersama lenyap di tengah hiruk-pikuk persaingan yang tidak sehat. Alih-alih menjadi ruang yang membentuk generasi pemimpin yang idealis dan berintegritas, IMM kehilangan identitasnya sebagai garda terdepan perubahan. IMM yang seharusnya memperjuangkan hak-hak kader dan mengawal isu-isu sosial kini berubah menjadi sekadar arena pertarungan kekuasaan dan kepentingan pragmatis. Dalam hal ini dibutuhkan upaya serius dan komitmen bersama untuk mengatasi persoalan ini. Kader yang tergabung dalam Persyarikatan harus menyadari bahwa perjuangan tidak dapat dibangun dengan cara-cara manipulatif dan pragmatis.
Membangun kembali nilai-nilai dasar organisasi mahasiswa menjadi prioritas utama untuk mengembalikan marwah yang hilang, sehingga organisasi mahasiswa kembali menjadi tempat yang murni untuk belajar, berjuang, dan mengabdi pada kepentingan bersama.
6. Cabang tidak pernah melakukukan praktik intimidasi kepada komisariat
Salah satu tujuan ideal dari senioritas adalah untuk menumbuhkan rasa hormat dan membina kader dengan semangat kepemimpinan yang konstruktif. Namun, kenyataannya seringkali terjadi justru sebaliknya. Banyak pimpinan dan senior melakukan intervensi dan penekanan dengan cara yang terkesan intimidatif untuk memenuhi kepentingan politik mereka. Perilaku ini dapat datang dalam berbagai bentuk, seperti ancaman verbal, paksaan, dan tekanan psikologis, yang membuat kader merasa tidak nyaman dan kehilangan kebebasan berbicara.
Senior sering menganggap pendapat mereka sebagai mutlak, dan setiap perbedaan pendapat dianggap sebagai ketidakpatuhan atau kurangnya penghormatan. Pola intervensi ini tidak hanya merusak lingkungan persyarikatan, tetapi juga menciptakan suasana yang otoriter di mana kader tidak dapat menyuarakan pendapat mereka. Intervensi yang menakutkan membuat persyarikatan kehilangan kesempatan untuk maju. Ketika keputusan dibuat hanya berdasarkan perintah dari senior tanpa mempertimbangkan keinginan dan gagasan autentik, organisasi stagnan.
Kader persyarikatan tidak memiliki semangat kreatif dan perubahan, dan pola pikir lama tetap ada. Organisasi berubah menjadi tempat yang mengedepankan hierarki kekuasaan, menghalangi inovasi dan kemandirian generasi baru. Ini bukanlah tempat di mana orang bekerja sama.
Jika pola intervensi intimidatif ini terus berlangsung, IMM berpotensi kehilangan kader progresif yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi. Para kader akan lebih memilih mundur atau bersikap pasif daripada menjadi bagian dari struktur yang represif dan tidak memberi ruang pada suara mereka. Untuk itu, dibutuhkan perubahan dalam pola kepemimpinan yang mengutamakan dialog dan kesetaraan, di mana para senior mengedepankan sikap bijaksana dalam mendampingi kader persyarikatan, memberikan mereka kebebasan untuk mengembangkan diri, dan mendukung proses regenerasi organisasi yang sehat. Menghentikan intervensi intimidatif adalah langkah awal untuk mengembalikan nilai-nilai dasar organisasi dan membangun kembali budaya organisasi yang positif. Dengan memberikan ruang yang terbuka bagi anggota muda, organisasi bisa bertransformasi menjadi tempat yang mendukung, penuh inovasi, dan dihormati, tidak hanya oleh anggotanya tetapi juga oleh masyarakat luas yang menyaksikan kiprahnya.
7. Cabang memiliki administrasi dan konstitusi yang ideal
Tidak ada tujuan lain dalam IMM selain menciptakan sosok akdemisi Islam yang berakhlak mulia, yang kelak akan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Visi besar ini menjadi dasar dan tentunya harus terealisasikan secara berkelanjutan. Namun bagaimana jikalau seorang kader IMM menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang menguntungkan satu golongan?.
Berjalannya suatu organisasi pasti tak lepas dengan adanya pedoman yang dinamakan konstitusi organisasi. Dalam IMM konstitusi ini tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Tujuan dari konstitusi tersebut tidak lain adalah:
1) Menjaga batasan-batasan kepada para penguasa;
2) Memberikan pedoman bagi anggota demi berjalannya roda organisasi; dan
3) Menjamin hak antar anggota.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan organisasi yang mengedepankan prinsip musyawarah, dalam AD ART IMM sudah menegaskan bahwa semua dinamika yang terjadi diselesaikan secara musyawarah. Namun pada faktanya masih ada kader yang pragmatis terhadap memutuskan suatu hal, terutama dalam pembahasan calon yang akan diusung dalam pimpinan tingkat daerah.
Dalam hal ini IMM Solo turut andil dalam kontestasi Musyawarah Daerah IMM Jawa Tengah, berbagai dinamika telah dilalui. Dalam kontestasi inilah terjadi dinamika politik terutama dalam mengusung calon ketua umum DPD IMM Jawa Tengah periode 2024/2026.
IMM Solo dinilai terlalu pragmatis, tidak menggunakan prinsip kehati-hatian, dan tidak cermat dalam mengusung calon. Selasa, 03 September 2024 telah terjadi penandatanganan berita acara yang menyatakan komisariat se-cabang kota surakarta menyepakati pengusungan calon ketua umum, namun pada faktanya yang hadir disana hanyalah BPH cabang dan ditandatangani sendiri oleh BPH cabang mengatasnamakan komisariat. Tentu hal ini menyalahi prinsip musyawarah dan keterlibatan musyawarah dalam agenda ini, karena pada dasarnya penandatanganan itu mengatasnamakan komisariat.
Selain daripada itu dalam kontestasi musyda IMM Solo juga merekomendasikan calon formatur. Dalam pasal 6 Pedoman Administrasi IMM yang mengatur tentang pembagian tugas BPH menyatakan bahwa tugas seorang sekretaris umum adalah “Mendampingi Ketua Umum untuk bertindak dari dan atas nama Ikatan serta bersama Ketua Umum menandatangani surat-surat prinsipil dan yang merupakan sikap ikatan”, tentunya dalam memberikan surat rekomendasi Sekretaris Umum bersama Ketua Umumlah yang mengetahi dan sekaligus merekomendasikan untuk dan atas nama kepentingan Ikatan. Namun dalam merekomendasikan calon formatur telah terjadi pelanggaran pemalsuan surat yang dimana seorang bukan dari pimpinan cabang membuatkan surat rekomendasi formatur, dari Ketua Umum dalam respon ini menyatakan bahwa beliau menormalisasikan pelanggaran ini dengan berbagai alasan.
Dalam hal ini dapat disimpulkan pencalonan formatur tersebut mal administratif dan batal, kemudia ketua umum juga telah melakukan pelanggaran yaitu membiarkan seseorang yang sudah jelas dan nyata melakukan pelanggaran administrasi.
Persyaratan Musyda XXI DPD Jawa Tengah ini terlalu kompleks dan lebih ketat, terutama dalam pengumpulan syarat administratif. Perwakilan cabang diminta untuk mengeluarkan surat mandat dengan dilampirkan Surat Keputusan Struktural. IMM Solo dalam pengurusan administratif ini tidak melalui sekretaris umum tetapi bidang hikmah, hal ini sudah termasuk sekewenang-wenangan dalam birokrasi administrasi, sekreteris umum seolah-olah dipotong kewenangannya oleh pimpinan yang tidak bertanggungjawab ini.
Dalam Pasal 28 BAB V Anggaran Rumah Tangga tentang Permusyawaratan menyatakan bahwa yang dimaksud peserta musyawarah daerah adalah
1) BPH DPD;
2) Wakil Pimpinan Cabang masing-masing 4 (empat) orang;
3) Wakil Pimpinan Komisariat 2 (dua) orang; dan
4) Wakil Dewan Pimpinan Pusat 1 (satu) orang.
Poin 2 tersebut dapat dimaknai bahwa 2 orang yang mewakili komisariat harus berasal dari komisariatnya masing-masing, namun pada prakteknya masih ada mandat yang dikeluarkan berisi nama-nama yang bukan dari komisariat masing-masing.