SEMARANG, anewsidmedia.com – Budaya berbelanja baju second-hand atau biasa yang dikenal istilah thrifting telah menjadi pemandangan umum di era digital ini, terutama di kalangan Generasi Z. Tidak hanya sebagai tren, tetapi budaya ini menciptakan dampak mendalam pada cara Gen-Z memandang kehidupan. Apakah “Budaya Thrift” adalah masa depan yang tak terelakkan bagi Gen-Z? Mari kita selami topik ini bersama fakta-fakta menarik dari budaya ini!
Dalam pandemi global dan perubahan sosial yang terus-menerus, budaya thrift menjadi semakin relevan dan digemari segala kalangan terutama anak-anak Gen-Z.
Anak-anak Gen-Z melihat fenomena tersebut bukanlah sekadar menghemat uang; melainkan ini semua adalah pola pikir, cara hidup yang mempromosikan penggunaan yang bijak, sambil tetap stylish dan berkelanjutan.
Sejarah budaya thrift tidaklah terbatas hanya pada era digital sekarang ini. Ini semua sudah ada sejak jauh-jauh sebelum kita mengenal istilah thrifting itu sendiri. Ini semua berawal sekitar tahun 1760-1840 an. Yang dimana pada revolusi industri abad ke-19, membentuk suatu budaya yang dinamakan mass-production of clothing, dan membuat pakaian yang sangat murah dan orang dengan mudah membuang pakaiannya.
Bahkan, di Amerika Serikat setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai National Thrift Store Day, dan ngebuat diskon besar-besaran pada hari itu.
Lalu, gimana di Indonesia sendiri tren thrifting ini juga bisa menjadi suatu hal yang dianggap sebagai masa depan Gen-Z ya?
Jadi, sebagai generasi yang mendasari perubahan, Generasi Z memiliki peran kunci dalam membentuk masa depan mereka. Budaya thrift bukan hanya sebuah tren; itu adalah fondasi untuk kehidupan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Adanya budaya thrifting ini dinilai jadi penyeimbang dari fast fashion. Industri tersebut memberikan cukup banyak dampak terhadap lingkungan, apalagi angka gas rumah kaca yang dihasilkan dari produksi dan penggunaan energi pada industri fesyen adalah mencapai 10%.
Beralasan bahwa thrifting dapat menekan pencemaran lingkungan dibanding fast fashion menjadikan salah satu alasan kenapa thrifting begitu digemari di Indonesia. Sekarang, kata “barang bekas” tidak lagi memiliki konotasi yang jelek di dalamnya. Banyak anak Gen-Z yang sudah paham dengan budaya pop yang ada di dalam budaya thrifting. Dan terkadang membuat barang yang seharusnya tidak mahal, menjadi mahal hanya beralasan “vintage” dan memiliki esensi yang bagus.
Terlepas dari banyaknya penikmat dari budaya thrift ini pasti membuat banyak juga yang lainnya memandang hanyalah sebatas mata. Namun, tidak penting akan itu, anak-anak Gen-Z melihat budaya tersebut sebagai media komunikasi tentang bagaimana mereka mengekspresikan dirinya melalui baju-baju ataupun aksesoris hasil dari mereka men-thrift.
Pembentuk atau tidaknya masa depan sebenarnya tergantung dari kita melihat bagaimana suatu budaya itu sendiri. Walaupun banyak faktanya tentang sampah serta hal kurang baik dari barang bekas, tapi nyatanya thrifting tidak pernah sepi peminat. Bahkan sekarang sudah banyak konten kreator yang membuat brandingnya dengan memanfaatkan barang thrifting. Jadi kamu tim beli baru apa beli barang second-hand nih?