JAKARTA, anewsidmedia.com – Menteri Luar Negeri (Menlu RI) Retno Marsudi bicara di Global Refugee Forum (GRF) di Jenewa, Rabu (13/12). Dalam kesempatan itu Menlu Retno bicara mengenai upaya pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asalnya.
Menurut Retno, gelombang pengungsi dunia disebabkan oleh peperangan dan konflik. Akar masalah berupa perang dan konflik harus diselesaikan. Itu berlaku untuk konteks Jalur Gaza Palestina maupun Rohingya.
“Sementara itu, di Myanmar, kekerasan terus terjadi yang memaksa kaum Rohingya meninggalkan rumah mereka, yaitu Myanmar,” kata Retno dalam press briefing.
Sebagaimana diketahui, Indonesia kini juga kedatangan gelombang pengungsi Rohingya, terutama ke Aceh. Masalah kedatangan pengungsi Rohingya ini menjadi perhatian serius negara.
“Karena itu, saya mengajak masyarakat internasional bekerja sama untuk menghentikan konflik dan memulihkan demokrasi di Myanmar, sehingga pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka,” lanjut Retno, menceritakan soal hal yang dia sampaikan di forum yang diikuti 140 negara itu.
Ada Konvensi 1951 tentang Status pengungsi, dibikin di Kantor Eropa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, 2 sampai 25 Juli 1951. Indonesia tidak meratifikasi konvensi, tidak pula meratifikasi Protokol pengungsi 1967. Maka Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi, melainkan negara transit untuk pengungsi saja.
Adapun negara tujuan (kadang disebut pula sebagai negara ketiga/negara penerima) pengungsi adalah negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol pengungsi 1967, di antaranya Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, hingga Kanada.
Proses memukimkan pengungsi dari luar negeri ke negara tujuan disebut sebagai ‘resettlement’. Sayangnya, proses resettlement pada era ini lambat.
“Selain itu, saya juga menekankan kewajiban menerima resettlement bagi negara pihak Konvensi pengungsi. Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ini berjalan dengan sangat lamban. Banyak negara pihak bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi,” sorot Retno.
Masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melatarbelakangi mobilisasi pengungsi juga menjadi perhatian Retno. Dia menggalang kerja sama dunia untuk mengatasi masalah perdagangan manusia.