Menu

Mode Gelap

Budaya · 18 Okt 2023 19:14 WIB

Mengenal Kebudayaan Masyarakat Toraja; Makam Tebing Kuburan Alam


					Mengenal Kebudayaan Masyarakat Toraja; Makam Tebing Kuburan Alam Perbesar

TORAJA, anewsidmedia.com – Tebing batu itu terasa lain. Ia seolah memancarkan aura seram yang sulit dijelaskan. Tingginya bisa mencapai puluhan meter, dengan warna gelap yang pekat, dan kokoh menjulang di daerah perbukitan. Di sekitarnya terlihat hamparan sawah, yang pada musim tertentu menampakkan keasriannya. Amat kontras dengan tebing hitam di atasnya.

Jika dilihat dari kejauhan, tebing granit hitam itu memiliki lubang-lubang yang menutupi seluruh bagian tebing. Ukurannya juga beragam. Untuk menjangkaunya, para pengunjung harus turun melewati tangga dari puncak tebing. Di sepanjang jalan turun berdiri kios-kios souvenir yang menjajakan pernak-pernik khas dari sana.

Tebing itu bukan tebing granit biasa. Tempat itu adalah kubur batu. Dan lubang-lubang di dalam tebing diisi oleh jenazah manusia. Tradisi pemakaman ini merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat Toraja.

Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sebuah proses bertahap menuju Puya (dunia arwah atau akhirat),” tulis Fajar Nugroho dalam Kebudayaan Masyarakat Toraja.

Untuk itulah masyarakat Toraja menggelar upacara pemakaman yang dikenal dengan istilah rambu solok. Upacara ini dilandasi kepercayaan dan keyakinan kepada leluhur atau disebut Aluk Todolo. Tujuannya untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia ke alam roh. Keluarga yang ditinggal mati akan membuat pesta sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang.

Menurut Roni Ismail dalam “Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja ‘Aluk To Dolo’: Studi atas Upacara Kematian Rambu Solok”, jurnal Religi Vol. 15 No. 1, 2019, masyarakat Toraja percaya bahwa orang yang sudah meninggal dunia akan tetap ada di dunia manusia hidup jika tidak dilepas dengan upacara rambu solok.

Berita Terkait:  WHO Larang Penggunaan Vape atau Rokok Elektrik, Berikut Bahaya yang Menanti Jika Kecanduan

“Apabila upacara kematian belum dilaksanakan, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, dan jasadnya pun tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan makanan dan minuman, dan bahkan selalu diajak berbicara oleh anggota keluarga,” tulis Roni.

Upacara pemakaman bisa menelan banyak biaya dan dilangsungkan selama berhari-hari. Tak heran jika upacara ini seringkali diadakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang sampai keluarga siap dan punya cukup dana.

Setelah upacara rambu solok, jenazah akan diarak dan diantar ke lakkian (kompleks pemakaman) yang terletak di dinding tebing. Tak hanya pihak keluarga, seluruh masyarakat akan turut berjalan mengantarkan jenazah sampai ke lakkian.

Di seluruh provinsi Sulawesi Selatan tersebar tempat-tempat pemakaman tebing leluhur masyarakat Toraja. Salah satunya adalah bukit batu Lemo di Kelurahan Lemo, Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Dinamakan Lemo karena liang batu ini menyerupai buah limau berbintik-bintik.

Lemo memiliki 75 liang batu kuno atau dalam bahasa setempat disebut liang paa’, dan tiap-tiap liang merupakan kuburan satu keluarga. Dari luar, kuburan-kuburan ini terlihat lubangnya saja, ditutupi papan kayu. Ukuran lubang cukup besar, sekitar 3 meter kali 5 meter. Sementara tingginya mencapai belasan meter dari permukaan tanah.

Berita Terkait:  DPD IMM Jateng Sosialisasi SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Jenazah dimasukkan ke dalam liang dengan menggunakan tangga atau ditarik dengan tali. Proses pembuatan liang termasuk lama dan sulit karena bukit batu itu harus dipahat dengan tangan. Pembuatan satu lubang bisa memakan biaya yang mahal, dengan lama pengerjaan enam bulan sampai satu tahun. Tidak heran jika pemakaman di Toraja bisa tertunda selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.

Kuburan alam ini dihiasi dengan deretan tau-tau (patung) sebagai personifikasi orang yang telah meninggal sekaligus lambang prestise dan status sosial yang bersangkutan. Syarat untuk membuat tau-tau adalah harus menyembelih kerbau sebanyak 24 ekor. Badan patung terbuat dari bambu atau kayu nangka, matanya dari tulang dan tanduk kerbau.

Menurut Hendrik van Der Veen dalam The Sa’dan Toradja Chant for The Deceased, tau-tau atau tatau bisa dibuat dari tiang bambu yang diikat jadi satu dan dibalut dengan kain –penggunaan kayu nangka diduga berasal dari masa kemudian. Mukanya juga terbuat dari kain. Tau-tau dikenakan pakaian yang indah dan dihiasi dengan ornamen. Ia diletakkan di atas lumbung padi dan ketika jenazah dibawa ke tempat pesta, tau-tau ikut dengannya.

Setelah jenazah dikuburkan di kuburan batu, ornamennya dilucuti dan tau-tau ditempatkan di ceruk dekat pagar pelindung di depannya. “Ketika ritual untuk almarhum telah selesai dan ketika jiwanya telah pergi ke Tanah Jiwa, rohnya dimanifestasikan dalam tau-tau,” sebut van Der Veen.

Berita Terkait:  Konferensi ISETH ke-9 UMS Bahas Tantangan dan Peluang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sementara Hetty Nooy-Palm dalam The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion menyebut tau-tau dibuat sebelum tahap kedua dalam ritual pemakaman dimulai. Selama pembuatan patung, pemahat tidur di dekat (atau bahkan di bawah) rumah almarhum terbaring. Pengerjaan patung juga dilakukan di sekitar rumah, bahkan mungkin di lantai tiang pagar di seberang tongkonan (rumah adat orang Toraja).

Setelah selesai dibuat, tau-tau ditempatkan di samping orang yang meninggal. Sama seperti almarhum, tau-tau diberi makanan (sesaji). Ia tetap berada di sekitar jenazah saat pemotongan kerbau. Ia kemudian ditempatkan di depan kuburan (atau di atasnya) untuk tetap menghidupkan ingatan leluhur “masa lalu”.

“Setiap beberapa tahun sekali, pakaiannya diganti, biasanya sebelum penguburan orang baru terjadi,” jelas Hetty Nooy-Palm.

Lama penyimpanan jenazah di dalam bukit beragam. Ada yang hanya beberapa bulan, ada pula yang sampai puluhan tahun. Kondisi itu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi setiap keluarga.

Makam tebing di Desa Lemo merupakan kuburan tertua nomor dua di Toraja setelah Songgi Patalo. Kuburan ini dibuat sekitar abad ke-16. Untuk mencapai tempat ini, Anda bisa melalui Rantepao, Toraja Utara, sejauh 12 kilometer ke arah selatan. Atau bisa juga melalui Makale sejauh enam kilometer ke utara. Di pinggir jalan utama penghubung Makale-Rantepao akan ditemukan papan petunjuk menuju tebing Lemo.*

Sumber: indonesiakaya.com

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Unity Sports Center Resmi Dibuka di Semarang, Hadirkan Akademi Tenis Bertaraf Nasional

23 April 2025 - 16:21 WIB

Sido Muncul Berbagi Santunan untuk 1.000 Dhuafa di Kabupaten Semarang

23 Maret 2025 - 08:20 WIB

Abdul Mu’ti: Tidak Perlu Menunggu 2045, Indonesia Emas Sudah Terwujud Kalau…

11 Maret 2025 - 00:25 WIB

Mengubah Kemacetan di Merak, Butuh Satu Komando

8 Maret 2025 - 21:36 WIB

Pertanyaan ini sering muncul dari para pemudik lintas Merak – Bakauheni karena setiap arus mudik Lebaran, seperti Lebaran 2024 terjadi kemacetan panjang sampai Km 97. Saking frustasinya menghadapi kondisi kemacetan yang selalu terjadi pada saat-saat arus mudik Lebaran. Diharapkan pada Lebaran 2025 ini kemacetan Panjang menuju ke Pelabuhan Merak tersebut dapat terurai, bila semua perencanaan yang ada saat ini dilaksanakan secara konsisten. Menurut Ketua DPP Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) Khoiri Soetomo (19 Februari 2025), pada saat penyelenggaraan angkutan lebaran 2024 di lintas Merak – Bakauheni kendali tertinggi operasional di lapangan bukan berada di bawah Kementerian Perhubungan, melainkan dikoordinasikan oleh pihak Kepolisian.

Beri Bantuan Rp 260 Juta, Sido Muncul Adakan Operasi Bibir Sumbing dan Langit-Langit Gratis

25 Februari 2025 - 21:16 WIB

Meniadakan Mudik Gratis Sepeda Motor

23 Februari 2025 - 11:19 WIB

Trending di Ekonomi